Monday 27 August 2012

Hari Yang Membosankan

Cerita pendek oleh Maria Wiedyaningsih

"Papan catur cadangan sudah dibawa?" ujar Eyang Setia, kakek Chrisna. "Siapa tahu papan catur di tempat Eyang Permana rusak. Sudah bawa minuman? Siapa tahu, kita kehausan di jalan. Sudah bawa payung? Siapa tahu, sampai di tempat Eyang Permana, hujan."

"Eyang Setia terlalu berlebihan," pikir Li-El geli. "Kita, kan, hanya pergi ke rumah Petra. Kenapa seperti akan ke luar negeri?"

Hari Minggu ini, Li-El dan Chrisna menemani Eyang Setia. Eyang Setia akan bermain catur bersama Eyang Permana, kakek Petra.

Selain mereka, Zea bilang akan ikut. Nah, itu Zea datang. Zea kelihatan sangat gembira. Namun, wajahnya berubah tiba-tiba. Ia kelihatan terkejut melihat Eyang Setia, bahkan sampai terdiam.

Li-El bingung melihat tingkah Zea. Ia ingat percakapannya dengan Zea semalam, lewat telepon. Zea terdengar sangat bersemangat saat mendengar Li-El akan pergi hari ini. Ia langsung mengatakan akan ikut. Jadi, kenapa sekarang wajahnya terlihat kecewa begitu?

"Eyang senang sekali Zea ikut," sambut Eyang Setia bersemangat.
"Eh...iya... Zea juga senang ikut Eyang," sahut Zea terbata.

Li-El memperhatikan wajah Zea yang berubah kecewa saat Eyang Setia tidak memperhatikannya.

"Sudah beritahu ke rumah kalau Zea sampai di sini dengan selamat?" sambung Eyang Setia. " Sekalian kabari sampai jam berapa Zea akan pulang nanti."
"Iya... Iya, Eyang," jawab Zea.
Zea bingung dengan sikap teliti Eyang Setia.

Satu jam kemudian, Eyang Setia dan Eyang Permana tampak serius dengan pertandingan catur mereka. Namun, perhatian Li-El tidak tertujuh pada pertandingan catur. Kenapa Zea semakin tidak besemangat?

Ia bahkan terlihat merenung saat bersama-sama Li-El dan Petra mengambil makanan dan minuman di dapur.
"Zea, kamu ingin jus apa?" tanya Petra.
Zea diam saja. Kenapa Zea bisa tidak mendengar?
"Zea," panggil Li-El.
"Eh...," balas Zea tergagap. Li-El dan Petra tertawa geli, membuat Zea tersipu.

"Sejak datang kamu kenapa terlihat bingung?" tanya Petra. Zea terkejut. Ia terlihat salah tingkah.

"Kamu sebenarnya tidak ingin di sini, ya?" tebak Petra.

Li-El bingung. Ia ingat percakapan dengan Zea semalam. Zea sangat bersemangat. Bahkan tanpa tahu Li-El akan ke mana, Zea langsung bilang ingin ikut.

Saat itu Chrisna memanggil mereka. Mereka kembali berkumpul menonton pertandingan  catur Eyang Setia dan Eyang Permana. Tampaknya semakin seru. Meskipun Li-El  justru lebih tertarik pada Zea.

Tampaknya, Zea cukup suka dengan permainan catur. Ia tertarik mengikuti langkah-langkah permainan Eyang Setia dan Eyang Permana. Namun, itu hanya beberapa menit. Zea kembali murung.

"Waktu Eyang Setia masih anak-anak, kakek Eyang suka sekali mendongeng," ujar Eyang Setia tiba-tiba. Perhatiannya teralih dari papan catur.

Eyang Permana tersenyum. Anak-anak bingung. Kenapa Eyang Setia tiba-tiba berkata seperti itu? Sepertinya, hanya Eyang Permana yang mengerti apa yang dilakukan Eyang Setia.

"Sayangnya, Eyang tidak terlalu suka mendengarkan," lanjut Eyang Setia. "Jadi, kalau ada teman yang mengajak bermain, biasanya Eyang langsung pergi. Atau kalau sudah malam, biasanya Eyang pura-pura tertidur."

Anak-anak terdiam. Meskipun suara Eyang Setia terdengar biasa-biasa saja, anak-anak bisa merasakan penyesalan Eyang Setia.

"Coba kalau waktu itu Eyang Setia tidak suka melarikan diri. Eyang Setia pasti bisa belajar ilmu mendongeng," ujar Eyang Permana mencoba bercanda.

"Benar," angguk Eyang Setia. "Kalau Eyang pintar mendongeng, Chrisna, kan, tidak bosan lagi mendengar dogeng Eyang, goda Eyang Setia. Chrisna tersipu.

Saat semua tertawa geli, Zea justru terdiam. Wah, hari ini Zea benar-benar aneh. Li-El memikirkan semua kejadian. Tiba-tiba, ia ingat wajah Zea saat melihat Eyang Setia saat datang tadi. Zea tidak tahu kalau Li-El dan Chrisna akan menemani Eyang Setia. Saat mengetahuinya , ia jadi kecewa. Akan tetapi, ia sempat bersemangat melihat permainan catur. Lalu kenapa Zea berubah murung lagi?

"Mungkin hari ini Zea harus pergi dengan kakek, ya?" tebak Eyang Permana.
"Iya, hari ini kami seharusnya pergi memancing," balas Zea, menunduk. "Memancing membosankan sekali."

Oh, jadi begitu, Zea pergi karena tidak ingin memancing. Mungkin saat menemani Eyang Setia dan Eyang Permana, Zea jadi merasa bersalah pada kakeknya. Meskipun Zea tidak suka memancing, ia bersenang-senang bersama kakeknya.

"Ayo, sekarang lebih baik Zea temani Kakek," saran Eyang Setia.
"Dari tadi, Zea sudah tidak sabar ingin pergi dari sini, kan?"
Zea tersipu. Ah, Eyang Setia ternyata juga teliti memperhatikan orang!