Sunday 1 July 2012

Nenek Suti

Cerita pendek oleh Dwiyanto

     Aku memanggilnya Nenek Suti. Nenek Suti berjualan kacang setiap malam di alun-alun. Puluhan kacang terbungkus plastik digelar di kertas koran, diterangi lampu teplok. Aku sering membayangkan Nenek Suti. Ia sudah tua namun harus mencari nafkah sendiri.
     Minggu lalu, hujan deras mengguyur kotaku. Waktu itu aku teringat pada Nenek Suti. Tidak mungkin Nenek Suti bertahan berjualan. Hujan sangat lebat disertai petir. Dimana ia berteduh.
     Aku penasaran dan kasihan pada Nenek Suti. Aku membujuk Ayah untuk mengantarkanku ke alun-alun.
     "Hujan begini, Dhea? Kamu mau beli apa? Motor Ayah baru saja dicuci. Masak, Ayah harus mencuci lagi," kata ayahku waktu itu.
     "Nanti Dhea bantu mencucinya, Ayah," rayuku.
     "Hujan begini tidak ada penjual di alun-alun. Semua pulang ke rumah masing-masing," kata Ayah.
     "Kalau begitu, aku akan jalan kaki saja ke sana," kataku. Aku memang tidak keberatan menerjang dingin dan hujan. Aku ingin melihat Nenek Suti.
     Buru-buru aku mengambil payung di kamar. Tetapi, Ayah ternyata tidak tega. Ayahku memang paling baik sedunia.
     "Ayo, deh, Ayah antar ke alun-alun. Tapi, kamu janji untuk bantu Ayah cuci motor, ya!"
     Aku mengangguk girang. Ayah segera mengambil kunci kontak, helm dan jaket. Aku mengejar Ayah yang sudah menstarter motornya di garasi.
     "Pakai jas hujan dulu, nanti masuk angin," Ayah mengingatkan. Aku bergegas masuk ke kamar lagi mengambil jas hujanku.
     Beberapa saat kemudian, sepeda motor Ayah sudah menembus hujan. Tidak sampai lima menit, kami sampai di alun-alun. Benar kata Ayah. Tidak tersisa penjual di sana. Semua takut hujan dan petir.
     "Mau beli apa, Dhea?" tanya Ayah waktu itu. Suaranya samar-samar. "Beli kacang di Nenek Suti!"
     "Kacang?!" tanya Ayah agak jengkel. "Lihat, sudah tidak ada penjual di alun-alun. Kita pulang, ya," ajak Ayah.
     Kutebarkan pandangan ke tempat lain. Di bekas gedung film, kulihat lampu teplok kecil yang cahayanya meliuk-liuk. Aha, hatiku bersorak! Itu pasti Nenek Suti.
     "Ayah, itu Nenek Suti. Belok kiri, Ayah!"
Ayah menuruti permintaanku. Mungkin Ayah penasaran juga dengan sikapku yang misterius.
     Di bekas gedung film itu, hanya Nenek Suti yang berjualan. Ia kaget dari kantuknya begitu mendengar bunyi motor mendekat.
     "Kacang empat bungkus, Nek," pintaku. Tangan Nenek Suti yang penuh keriput itu mengambil empat bungkus kacang.
     "Nenek tidak pulang?"
     "Menunggu hujan reda, Nak," jawabnya lirih. Kudengar batuk-batuk kecil keluar dari mulutnya.
     Aku sebenarnya ingin agak lama berbincang dengan Nenek Suti. Tetapi, Ayah menstater motornya begitu aku selesai menerima kacang dari Nenek Suti. Mungkin Ayah khawatir jika hujan bertambah deras.
     "Saya pulang dulu, Nek."
     "Terima kasih, Nak."
     Motor Ayah meraung keras di tengah hujan. Sampai di rumah, Ibu cemberut saat mendengar cerita Ayah.
     "Ke alun-alun hanya untuk beli kacang? Besok, Ibu belikan sekilo di pasar, Dhea," kata Ibu sedikit jengkel.
Ah, Ibu tidak tahu, aku sebetulnya hanya ingin berjumpa Nenek Suti. Ayah tampak diam berpikir. Mungkin Ayah mulai mengerti isi hatiku.
     Itulah kejadian minggu lalu. Aku teringat lagi pada kejadian itu, karena malam ini hujan mengguyur deras lagi. Entah mengapa, kali ini malah Ayah yang mengajakku membeli kacang Nenek Suti. Padahal, kacang yang dibeli Ibu masih setoples.
     "Nanti, kita temani Nenek Suti sebentar, ya, Yah?" pintaku.
     Tanpa banyak komentar, Ayah mengangguk. Sikap Ayah berbeda sekali dengan minggu lalu. Kali ini, aku tidak perlu merayu Ayah.
     Motor Ayah menerjang hujan deras dengan gagah berani. Dingin langsung kurasakan menusuk tulang. Kasihan Nenek Suti. Tentu ia lebih kedinginan dibandingkan aku.
     Ayah ternyata langsung menuju ke bekas gedung film. Ayah menghentikan motornya di depan dagangan Nenek Suti.
     "Kita borong semua kacang Nenek Suti, Dhea," kata Ayah mantap.
     Kami berjalan ke arah Nenek Suti. Nenek Suti tampak tengah tertidur pulas dengan punggung bersandar tembok berlumut.
     "Nek, kami mau memborong kacang," kataku. Aku berharap, Nenek Suti bangun dan menampakkan senyum tuanya yang ramah.
     "Nenek..." ucapku.
Nenek Suti tetap diam. Ayah mendekat, lalu menggoyang lembut tubuh renta itu. Tetap tidak bergerak. Ayah menggoyang lebih keras. Hasilnya sama saja.
     "Nek!" Ayah setengah berteriak. Kusentuh Nenek Suti yang sudah dingin. Matanya terpejam penuh kedamaian.
     'Nenek sudah kembali ke sisi Tuhan, Dhea..." ucap Ayah sedih.
     Air mataku menetes.